Saturday, June 15, 2013

Privatisasi

Privatisasi

Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Lawan dari privatisasi adalah nasionalisasi.
Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)


contoh privatisasi di indonesia=
Privatisasi Indosat Oleh Andi Irawan

Privatisasi pemerintah terhadap PT Indosat tampaknya mulai mendapat resistensi yang kuat dari publik. Bukan saja penolakan oleh sejumlah pengamat ekonomi dan unjuk rasa termasuk mogok kerja yang telah dan akan dilakukan karyawan Indosat berikut rencana mereka untuk mengadukan Menneg BUMN ke polisi, tetapi juga resistensi politik baik secara individual (seperti yang tunjukkan oleh Amien Rais) atau secara kolektif seperti pengaduan Menneg BUMN oleh Fraksi Reformasi ke polisi atau bahkan yang terkini rencana sejumlah anggota DPR untuk mengajukan interpelasi terhadap pemerintah.
Mengapa resistensi ini terjadi? Menurut pengamatan saya ada dua sumber penyebabnya yakni berkaitan dengan distorsi misi dari program privatisasi dan aspek dukungan, serta akseptabilitas dari sebuah kebijakan publik yang tidak tuntas. Untuk lebih jelas mari kita kupas satu demi satu.

Distorsi Misi
Kehadiran program privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara (di Indonesia dikenal dengan nama BUMN) bisa dibenarkan jika mampu mewujudkan dua misi (Joseph E. Stiglitz, 2002), yakni pertama, menciptakan perusahaan-perusahaan yang lebih efisien. Kedua, memberikan harga yang murah kepada konsumen.
Misi untuk meningkatkan efisiensi dari BUMN-BUMN tersebut karena ditengarai pemerintah sering melakukan intervensi dan kontrol secara berlebihan terhadap BUMN, yang jika ditinjau dari pendekatan manajemen, hal tersebut dapat menimbulkan tiga dampak negatif yakni: Pertama, asimetri informasi antara pemerintah dan manajemen BUMN yang dapat mendorong timbulnya moral hazard, sikap mental oportunistik yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi.
Kedua, kerancuan manajerial yang memberikan peluang kepada BUMN untuk menutup kegagalan manajemennya dengan mengkambinghitamkan kontrol dan intervensi pemerintah. Dan ketiga tingkat ketergantungan BUMN baik dalam bentuk subsidi maupun fasilitas lainnya kepada pemerintah.
Akibatnya BUMN bukannya memberikan keuntungan terhadap negara tetapi memberikan beban yang berdampak semakin memperbesar defisit anggaran. Dengan demikian pertanyaan yang layak diajukan kepada pemerintah dalam konteks privatisasi PT Indosat adalah apakah memang PT Indosat itu tidak mampu berkontribusi secara memadai dalam memenuhi pundi-pundi dana keuangan negara dalam wujud pajak dan memberikan dividen terhadap pemerintah sebagai pemegang sahamnya yang terbesar. Atau apakah dalam operasinya harus di-back-up oleh subsidi pemerintah yang merepotkan keuangan negara?
Sepengetahuan kita perusahaan ini adalah perusahaan yang sehat. Indosat merupakan perusahaan pembayar pajak terbesar dan pembayar deviden yang sangat besar secara rutin tiap tahun. Tahun 1999 Indosat membayar pajak sebesar Rp 80 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 120 miliar. Tahun 2000 membayar pajak sebesar Rp 480 miliar dan membayar dividen sebesar Rp 610 miliar dan tahun 2001 membayar pajak sebesar Rp 700 miliar dan membayar dividen Rp 705 miliar. Total pembayaran pajak dan dividen dari tahun 1999-2001 sebesar 2,695 triliun, suatu jumlah yang cukup signifikan.
Kalau kontribusinya terhadap keuangan negara cukup signifikan lalu mengapa harus tergesa-gesa dijual sekarang, bukankah kondisi perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi rendah dan psikologi investasi yang suram menyebabkan nilai jualnya menjadi rendah? Kalau kita mau belajar dengan program privatisasi di negara-negara Eropa Barat misalnya, privatisasi hampir selalu dilakukan ditengah-tengah situasi perekonomian yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi. Logikanya sederhana karena hanya dalam kondisi perekonomian seperti itulah penjualan BUMN dapat dilakukan dengan harga yang menguntungkan.
Misi kedua privatisasi adalah untuk memberikan harga produk yang lebih murah kepada publik dengan jalan menciptakan terjadinya persaingan sehat. Artinya privatisasi tidak memperkenankan beralihnya monopoli yang semula dilakukan oleh negara beralih menjadi monopoli swasta. Kemenangan Singapore Technologies Telemedia (STT) atas divestasi 41,94% saham pemerintah di Indosat membuat Temasek, yang merupakan perusahaan induk STT menguasai 70 sampai 80 persen pangsa telepon seluler (ponsel) di Indonesia. Hal itu terjadi karena Indosat merupakan pemilik perusahaan ponsel IM3 dan Satelindo yang menguasai 20-30%. Sementara 50% pangsa pasar lainnya diperoleh dari Telkomsel milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang 35% sahamnya juga dimiliki oleh Temasek lewat anak perusahaannya, Singapore Telecom (SingTel). Penguasaan dominan Temasek beberapa tahun mendatang akan mendorong terjadinya persaingan tidak sehat yang bertentangan dengan misi dilakukannya privatisasi.

Dukungan dan Akseptabilitas
Sebagai satu kebijakan publik maka mau tidak mau program privatisasi harus memperhatikan aspek dukungan politik dan akseptabilitas publik. Dalam konteks ini yang diabaikan pemerintah adalah: Pertama, menyeimbangkan antara kepentingan politik privatisasi berupa dukungan politik dan kepentingan ekonomi privatisasi (menutup defisit anggaran). Pemerintah selayaknya dapat belajar dari negara-negara yang berhasil mengsinkronkan kepentingan politik dan kepentingan ekonomi dalam program privatisasi. Ambil contoh program privatisasi Malaysia. Pemerintah Malaysia mampu menyesuaikan kepentingan ekonomi privatisasi dalam wujud mengurangi defisit anggaran dengan kepentingan politik nasional (eksis kewirausahaan di kalangan bumi putra). Yang dilakukan pemerintah Malaysia adalah memprioritaskan penjualan saham perusahaan yang diprivatisasi kepada kalangan bumi putra.
Melalui cara penjualan saham seperti ini tidak saja menyebarkan pemilikannya kepada bangsa sendiri tetapi juga akan merangsang tumbuhnya jiwa kewirausahaan di kalangan bumiputra sekaligus menunjukkan bahwa program privatisasi tidak mengabaikan nilai-nilai nasionalisme sehingga mendapat dukungan publik yang memadai.
Kedua, memperhatikan kepentingan strategis negara. Sektor telekomunikasi adalah sektor yang vital, Australia misalnya tidak mau melakukan privatisasi total terhadap sektor ini, pemerintah Australia masih tetap memegang saham mayoritas bahkan pemilikan saham di luar pemerintah dilakukan retriksi yakni kepemilikan asing dibatasi hanya 35%, serta kepemilikan individu dibatasi 5%.
Nilai strategis BUMN telekomunikasi ini tampaknya juga diabaikan oleh pemerintah karena dengan penguasaan pangsa ponsel 80% di Indonesia dikhawatirkan Temasek akan meguasai jaringan komunikasi intelijen bisnis dan intelijen strategis (keamanan-militer) di Indonesia.
Hal itu bisa dilakukan karena dengan kemampuannya kini, Temasek bisa menguasai satelit palapa, jaringan digital dan stasiun TV. Kekuatannya semakin bertambah karena kerja sama Operasional (KSO) Telkom di Kawasan Timur Indonesia juga dikuasai olehnya.
Ketiga, memperhatikan aspek transparansi dan fairness dalam program privatisasi. Resistensi dapat lahir dari ketiadaan transparansi. Dari sisi transparansi misalnya, pelaksanaan divestasi indosat disinyalir tidak transparan mengingat pemenang divestasi yang semula diumumkan adalah STT, namun ternyata kemudian yang membeli adalah Indonesian Communication Ltd (ICL). Menurut sejumlah anggota DPR cara divestasi BUMN strategis dengan jalan seperti itu tidak bisa diperkenankan.
Fenomena distorsi misi privatisasi dan abainya pemerintah akan pentingnya dukungan dan akseptabilitas publik sebagaimana yang telah dikemukakan di atas semakin melegitimasi pendapat sejumlah pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa privatisasi yang kita lakukan tidak lebih privatisasi atas tekanan pihak luar khususnya IMF atau privatisasi sekedar untuk membantu menutup defisit anggaran.


(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/06/opi02.html)
menurut saya= 
"dari pengertian nya dapat disimpulkan bahwa privatisasi adalah kepemilikan suatu perusahaan atau saham atau rumah atau semacamnya dari milik umum menjadi milik pribadi,bila hal ini terjadi di indonesia dan seluruh perusahan di bagi dengan negara asing maka akan mengakibatkan dampak yang buruk seperti pengambilalihan perusahaan,barang dimana-mana mahal,rakyat pribumi tersaingi,perekonomian diambil negara asing.bukankah itu berdampak pada rakyat,sebaiknya pemerintah harus menanggulangi hal ini agar tidak menjadi lebih parah,"

No comments:

Post a Comment